Saturday, June 11, 2016

Masa Kecil Tokoh Terkenal Indonesia, Bapak Basuki Tjahaya Purnama


            “Hoi, keluar kalian dari situ!” teriak satpam pada kami. Satpam berwajah sangar itu bergegas menghampiri kami.
            “Ayo... buruan!” teriakku pada teman-temanku. Kami pun bergegas mengenakan pakaian. Jangan sampai satpam itu memarahi kami. Saat ini aku dan teman-temanku sedang berenang di kolam renang PT Timah Belitung. Kolam renang ini hanya boleh digunakan oleh anak-anak tertentu saja.  Tentunya anak-anak karyawan PT Timah dan anak-anak dari keluarga mampu lainnya.
            Anak-anak desa seperti teman-temanku tidak pernah diizinkan berenang di sana. Kami berlari menjauh dari kolam renang. Sebenarnya, sebagai anak pengusaha di Belitung ini, aku bisa berenang di kolam renang milik PT Timah ini. Sayangnya aku mengajak teman-temanku, anak- anak warga Kampung Baru untuk berenang di sana.

            Akhirnya inilah yang terjadi. Satpam PT Timah itu marah begitu melihat kami berenang di sana. Mereka mengusir kami. Mereka mengira aku termasuk anak-anak dari kampung nelayan itu. Aku sendiri juga bingung, kenapa anak-anak dari kampung nelayan tidak diizinkan berenang di sana.
            Namaku Basuki Tjahaja Purnama. Ayahku Indra Tjahaja Purnama dan ibuku Burniati Ningsih. Orangtua dan temanku memanggilku dengan panggilan Ahok. Aku adalah anak sulung dari 4 bersaudara. Dua saudaraku laki-laki dan satu perempuan. Aku lahir di Manggar, Belitung Timur pada tanggal 29 Juni 1966. Karena orangtuaku berdarah Tionghoa, maka  mereka juga memberi nama  Tionghoa untukku yaitu Zhōng Wànxié / 鍾萬勰.
                  Ketika kecil, kehidupan di desaku di Belitung, cukup sulit. Sebenarnya tidak demikian denganku. Ayahku yang pengusaha sudah memberikan kehidupan lebih dari cukup bagi keluarga kami. Ayahku selalu mengingatkanku untuk berbagi dengan anak-anak di kampung nelayan.
            “Kita harus selalu membantu orang yang mengalami kesusahan,” demikian setiap hari ayahku menanamkan pesan itu di kepalaku. Sehingga aku sudah terbiasa bermain dan bergaul dengan anak-anak kampung itu. Bahkan aku sekolah di Sekolah Dasar Negeri 3 Gantung, Belitung Timur, bersama dengan mereka. Walau ayahku sanggup menyekolahkanku di sekolah swasta yang lebih baik.
            “Kita ke rumahku saja yuk!” ajakku setelah kami sukses melarikan diri dari kolam renang itu.
            “Ayolah. Kering rasanya tenggorokanku,” sahut Busyani sahabat karibku. Ada beberpa orang temanku yang lain juga saat itu. kami pun akhirnya pulang ke rumahku. Sampai di rumah, aku mengambil air minum dari kulkas.
            “Nih, minumlah,” ucapku sambil memberikan botol air putih dingin pada Busyani. Dengan sigap Busyani meraih botol itu dan menuangkan airnya ke gelas. Lalu dia memberikan botol itu pada temanku yang lain. Mereka menenggak habis air dingin itu seperti orang yang tidak menemukan air berpuluh hari.
            “Segar sekali rasanya. Bolehlah tambah lagi minum ini Hok,” pinta Busyani sambil mendorong botol kosong padaku. Aku bergegas ke dapur dan mengambil botol air dingin yang masih penuh di kulkas. Aku kasihan melihat teman-temanku yang kehausan setelah kami berlari dari kolam renang tadi.
            “Rasanya kenyang sudah perut kami minum air. Terima kasih ya,” ujar temanku itu setelah menghabiskan beberapa gelas air. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya usiaku lebih muda dari usia mereka sekitar dua sampai tiga tahun. Karena sebagai anak kampung nelayan, mereka umumnya membantu orangtua mereka sebelum memutuskan untuk sekolah.
            Jadi mereka masuk sekolah setelah usia mereka lebih dari cukup. Karena mereka membantu orangtua mereka bekerja sebagai nelayan. Sedangkan aku, usia tujuh tahun, sudah bersekolah. Ayahku ingin agar aku cepat mengenyam pendidikan, agar aku bisa sekolah lebih tinggi nanti. Jadi teman-temanku berusia lebih tua satu atau dua tahun dariku. Meskipun usia kami terpaut beberapa tahun, tapi tinggi dan berat kami tidak jauh berbeda.
            Yang membedakanku dengan mereka, hanya warna kulit dan mataku saja. Aku berkulit kuning langsat, sedangkan mereka sawo matang. Aku bermata sipit, dan mereka bermata besar. Tapi aku tidak pernah membedakan teman. Aku nyaman bermain dan bergaul dengan semua teman-temanku.
            “Ayolah kita belajar,” ajak Busyani setelah kami lelah bermain. Busyani adalah sahabat dekatku. Usianya lebih tua dua tahun dariku.
            “Ajari aku berhitung ya,” pintaku. Aku tahu, Busyani sangat pintar dalam pelajaran berhitung, atau pelajaran matematika.
            “Iya. Kamu memang harus pintar berhitung. Karena sebagai anak tauke, suatu hari nanti kamu akan jadi tauke juga. Jadi kalau tak bisa berhitung, rugilah kamu,” ujar Busyani menggodaku. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya.
            Aku bersyukur dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan. Sehingga, aku bisa belajar di sekolah dengan tenang, tanpa harus berpikir tentang biaya makan kami. Tidak demikian dengan teman-temanku. Kadang mereka harus bekerja membantu orangtua mereka, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari
            Suatu hari, setelah menerima rapor, aku memperlihatkan rapor itu pada ayah. Ayah memandangi nilai-nilaiku dengan wajah biasa saja. Kupikir ayahku akan bangga karena nilaiku bagus. Ternyata pikiranku salah.
            “Wajar saja nilaimu tinggi dan bagus, karena kamu makan roti dan keju. Jadi kamu nggak perlu bangga kalau nilaimu tinggi. Yang hebat itu, jika teman-temanmu memperoleh nilai tinggi. Karena mereka hanya makan seadanya. Bahkan, mungkin kadang mereka tidak makan. Ketika nilai mereka tinggi, baru mereka boleh bangga,” ucap ayah sambil memberikan kembali raporku.
            Aku hanya terunduk mendengar ucapan ayahku. Beliau benar, aku harus lebih giat lagi belajar, begitu yang selalu kutanamkan dalam hati. Hampir setiap hari saat makan bersama di meja makan, ayahku menasihati kami agar selalu peduli terhadap orang yang kurang mampu.
            Kami memang diwajibkan makan bersama di meja makan, khususnya makan malam dan sarapan pagi.
            “Bapak tidak akan mewarisi harta untuk kalian. Karena harta itu bisa hilang atau habis. Yang bisa bapak wariskan adalah pendidikan terbaik untuk kalian. Jika kalian intar dan mempunyai ilmu yang tinggi, maka ilmu itu tidak akan pernah hilang,” demikian pesan ayahku beberapa kali ketika kami makan bersama.
            Orangtuaku membuktikan janji mereka itu pada kami. Kami hanya disuruh belajar dan sekolah. Tidak perlu memikirkan uang sekolah seperti anak-anak lain. Ibuku bahkan menyimpan uang melalui perhiasan.
            “Perhiasan ini akan ibu jual saat kalian membutuhkannya untuk melanjutkan sekolah,” demikian ujar Ibu ketika beliau menyimpan perhiasan emasnya di lemari.
            Roda kehidupan berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Demikian juga dengan roda kehidupan keluargaku. Suatu hari, aku pun harus ikhlas membantu orangtuaku bekerja di ladang sebagai buruh pemetik lada. Aku juga menjual roti keliling kampung untuk mendapatkan sedikit upah. Untungnya aku tidak harus selamanya menjalani hal itu.
            “Nah, kamu tahu kan bagaimana rasanya hidup susah. Jadi kalau bisa, kamu harus selalu membantu orang –orang susah. Karena yang mereka rasakan sama dengan yang kita rasakan saat kita susah.” Jelas ayahku di lain hari.
            Aku tidak akan pernah melupakan pesan ayahku itu. Beliau tidak hanya berpesan seperti itu padaku. Tapi beliau juga memberikan contoh langsung. Beliau mengajakku membantu orang-orang yang kurang mampu di sekitar kami. Walau terkadang , sebagai keturunan Tionghoa, aku sering dikucilkan teman-temanku yang lain. Tapi aku akan selalu mengingat pesan ayahku.
            Pernah suatu kali aku sangat ingin mengibarkan bendera merah putih saat upacara bendera. Tapi entah kenapa, aku tidak diizinkan. Mungkin karena aku dari etnis minoritas. Tapi aku tak berkecil hati, aku berharap, suatu saat nanti, aku bisa membela negara tercinta ini melalui hal lain.
            “Ayo kita ke dokter,” ajak ibuku suatu hari. Saat itu aku sedang sakit. Aku menolak saran beliau. Aku takut sekali jika nanti dokter menyuntikku.
            “Nggak kok, nggak akan disuntik,” janji Ibu. Akhirnya aku menurut. Aku pun pergi ke dokter. Ketika dokter memeriksaku, beliau menggodaku.
            “Ahok, disuntik ya?” tanya beliau.
            “Nggak. Nggak mau, aku nggak mau disuntik. Coba aja dokter suntik. Nanti kalau aku sudah besar, aku jadi dokter, aku juga akan menyuntik dokter,” teriakku. Aku benar-benar takut dokter itu menyuntikku.
            “Hahaha.... nggak kok. Dokter nggak akan menyuntik Ahok. Tapi janji ya, Ahok harus mimum obat ini sampai habis,” pinta dokter itu. Lega rasanya mendengar perkataan dokter. Aku buru-buru menganguk agar dokter itu tidak berubah pikiran. Sedangkan Ibu, hanya tersenyum melihat tingkahku.
            Seperti teman-temanku yang lain, aku juga suka memancing di sungai. Kami bahkan bisa mendeteksi keberadaan buaya di sungai tempat kami memancing. Jika di dekat sungai ada kerumuman lalat, bisa dipastikan itu mulut buaya yang sedang dikerumini lalat. Jadi jangan sekali-kali mendekati tempat itu. Atau jika di dalam sungai terlihat seperti batang kayu yang bergerak. Bisa juga dipastikan itu buaya yang sedang berenang. Sebaiknya harus segera meninggalkan sungai jika melihat hal itu.
            Aku suka membaca buku sejak SMP. Bukan hanya buku pelajaran sekolah, tapi semua buku, termasuk buku cerita dan ensiklopedia.
                                                

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^